Jumat, 26 April 2013

Sejarah Gurindam

Gurindam secara umum, semula dipahami sebagai dua baris perkataan yang menjadi peribahasa atau pepatah. Mengingat pesan yang dikandungnya berisi nasihat atau peringatan, maka dalam  masyara­kat Melayu, gurindam sering dianggap sejenis dengan kata mutiara. Ia ditulis di halaman buku atau ditempel di dinding sebagai penghias. Kadang kala diucapkan oleh para tetua desa pada acara-acara tertentu sebagai nasihat atau peringatan. Mereka menganggap bahwa nasihat  seperti itu sebagai sesuatu yang patut  disampaikan  dan diresapi pendengarnya. Perhatikan contoh gurindam berikut ini:

Kurang pikir kurang siasat,
Tentu dirimu kelak tersesat.
Kalau mulut tajam dan kasar,
Boleh ditimpa bahaya besar.

Bagi masyarakat Melayu khususnya, kedua gurindam itu niscaya sudah tidak asing lagi. Banyak di antara anggota masyarakat  yang sengaja membuat gurindam sekadar untuk memberi nasihat atau  peringatan kepada orang lain. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya sudah akrab dengan jenis puisi ini, tetapi juga sangat  peduli pada sesamanya, yang diwujudkan dengan sikap saling menasi­hati.  Itulah sebabnya, betapapun syair dan pantun  pada  mulanya lebih  dikenal luas, gurindam tetap saja banyak ditulis atau  diucapkan sebagai salah satu sarana untuk menyampaikan nasihat.

“Pamor”  gurindam  kemudian meningkat  dan  boleh  dikatakan sejajar dengan pantun atau syair, setelah Raja Ali Haji memperke­nalkan karyanya Gurindam Dua Belas. Orang pun lalu lebih banyak mengutip  karya Raja Ali Haji itu dalam menyampaikan  nasihatnya. Sedangkan  tradisi penulisan gurindam sejak Raja Ali Haji,  tidak banyak  diketahui, bagaimana perkembangannya. Apakah sampai  kini gurindam masih ditulis orang atau tidak, juga sulit untuk  menja­wabnya. Yang pasti, Gurindam Dua Belas masih tetap dibaca orang dan diteliti oleh para sarjana berbagai bangsa.
***
Gurindam berasal dari bahasa Sansekerta. Namun ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa Tamil. Yang menjadi ciri  khasnya adalah  bentuknya yang terdiri dari dua baris yang rima akhirnya sama. Baris pertama berupa isyarat, peringatan atau semacam soal, dan baris kedua berupa akibat atau jawabannya.

Lalu, apa yang sesungguhnya disebut gurindam? Wilkinson, seorang sarjana Inggris, menyebut gurindam sebagai “sesuatu pepatah berangkap  yang disebutkan berpadan dengan tempatnya”  Sedangkan Van Ronkel, sarjana Belanda menyebut gurindam sebagai spreukdicht (seloka). Sebenarnya, masih banyak definisi yang dikemukakan para sarjana. Namun, yang paling mula membuat definisi mengenai gurin­dam adalah Raja Ali Haji (1809-1870); Pujangga Riau yang terkenal dengan karyanya Gurindam Dua Belas.

Menurut Raja Ali Haji, “gurindam adalah perkataan yang  bersajak pada akhir pasangannya (:rima akhir), tetapi sempurna  perkataannya dengan syarat dan sajak yang kedua itu seperti  jawab.” Dalam hal ini, berapa jumlah kata dalam setiap barisnya, tak dipersoalkan.  Yang penting adalah kesamaan rima akhir. Jadi,  jika dikatakan  ”bersajak pada akhir pasangannya,” ini berarti  setiap pasangannya  itu  terdiri dari dua baris. Baris  pertama  sebagai syarat dan baris yang kedua sebagai akibat atau jawabannya.

Adapun dalam setiap baitnya, yang oleh Raja Ali Haji disebut sebagai Fasal, tidak pula dikatakan jumlah barisnya. Jadi seperti juga jumlah kata dalam setiap barisnya, jumlah baris dalam setiap pasalnya (bait) pun, tak ada ketentuannya yang pasti. Dengan perkataan lain, satu rangkap gurindam hanya terdapat dua baris,  dan tidak empat baris, seperti pantun atau syair.

Walaupun begitu, mengenai jumlah kata dalam setiap  barisnya kebanyakan terdiri atas empat atau lima kata. Tetapi, sering pula tidak  terikat  oleh jumlah kata, karena kesamaan  rima  akhirnya itulah yang diutamakan. Karena tidak adanya keseragaman mengenai jumlah  kata  dalam setiap barisnya, tidak  seperti  pantun  atau syair, maka definisi yang kemukakan sebagian besar sarjana menyebut  gurindam sebagai bentuk puisi lama yang tidak  tetap  ukuran jumlah kata dan jumlah barisnya. Perhatikan gurindam berikut  ini yang diambil dari Gurindam Dua Belas karya Raja Ali:

Pasal Kesepuluh: // Pasal Kesebelas:
Dengan bapa jangan durhaka // Hendaklah berjasa
Supaya Allah tidak murka // Kepada yang sebangsa
Dengan ibu hendaklah hormat // Hendaklah jadi kepala
Supaya badan dapat selamat // Buang perangai yang cela
Dengan anak janganlah alpa // Hendaklah memegang amanat
Supaya malu jangan menimpa // Buanglah khianat
Dengan kawan hendaklah adil // Hendaklah mulai
Supaya tangan jadi kepil // Jangan melalui
***
Dari  hampir semua gurindam yang ada, yang  menonjol  adalah pesan yang terkadung dalam nasihatnya. Sebagian besar menyangkut ajaran agama, etika, moral dan adat, baik yang disampaikan secara langsung, maupun secara kiasan. Mengingat  nasihat-nasihat yang disampaikannya menyangkut peri kehidupan manusia di dunia ini, maka selama manusia mempunyai penyakit akhlak dalam batinnya, selama itu pula nasihatnya akan tetap relevan sesuai dengan perkembangan zaman.

Demikianmlah, sungguhpun sekarang ini, gurindam lebih banyak dibicarakan  sebagai pengetahuan  mengenai  kesusastraan  Melayu klasik, nasihat-nasihat yang dikandungnya perlulah menjadi  bahan renungan kita agar kehidupan kita di dunia ini, tetap sejalan dengan ajaran agama, sesuai dengan etika yang berlaku, serta  tetap menjunjung tinggi moral kemanusiaan. Maka, tidaklah mubazir  jika kita  masih  terus mau menyimak dan meresapi kedalaman  nasihat-nasihat dalam karya sastra lama itu.
Sebagai penutup, renungkanlah perkataan Raja Ali Haji  berikut ini: “Hati itu kerajaan di dalam tubuh/ jikalau zalim segala anggota pun rubuh.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar